
Mulai Januari 2025, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan pajak hiburan sebesar 10% untuk 21 jenis olahraga, termasuk padel, futsal, dan gym, sebagai bagian dari kebijakan baru untuk meningkatkan pendapatan daerah. Kebijakan ini, yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah memicu diskusi sengit di kalangan masyarakat, pelaku usaha, dan komunitas olahraga. Meskipun bertujuan untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan layanan publik, pajak ini menuai pro dan kontra karena dianggap dapat memengaruhi minat masyarakat terhadap aktivitas olahraga dan kebugaran.
Detail Kebijakan Pajak Hiburan
Berdasarkan Perda DKI Jakarta, pajak hiburan 10% dikenakan pada berbagai aktivitas olahraga yang dianggap memiliki unsur hiburan, termasuk:
- Padel, olahraga raket yang sedang populer di kalangan masyarakat urban Jakarta.
- Futsal, yang memiliki basis penggemar besar di ibu kota.
- Gym dan pusat kebugaran, termasuk kelas yoga, zumba, dan latihan lainnya.
- Olahraga lain seperti biliar, golf, berenang, panjat dinding, bowling, menyelam, paralayang, balap mobil, balap motor, bulu tangkis, sepak bola, basket, voli, angkat besi, tinju, gulat, renang, dan senam.

Pajak ini dikenakan pada penyedia jasa, seperti pengelola lapangan futsal, pusat kebugaran, atau klub olahraga, yang kemungkinan akan meneruskan biaya tambahan ini kepada konsumen melalui kenaikan harga tiket atau biaya keanggotaan. Menurut Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, pajak ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur, termasuk pembangunan fasilitas olahraga berstandar internasional di Jakarta.
Pajak hiburan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pajak hiburan. Untuk olahraga, tarif pajak hiburan ditetapkan seragam sebesar 10%, lebih rendah dibandingkan pajak hiburan lain seperti karaoke (40%) atau spa dan pijat (35%).
Reaksi dan Diskusi Masyarakat
Kebijakan ini telah memicu diskusi luas di kalangan masyarakat Jakarta, terutama di kalangan pecinta olahraga dan pelaku usaha. Berikut adalah beberapa pandangan yang muncul:
- Dampak pada Masyarakat: Banyak warga khawatir bahwa kenaikan biaya akibat pajak ini akan mengurangi aksesibilitas olahraga, terutama untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah. Misalnya, biaya sewa lapangan futsal yang sebelumnya Rp150.000 per jam bisa naik menjadi Rp165.000 atau lebih, membebani komunitas futsal amatir yang rutin bermain setiap minggu. Begitu pula dengan biaya keanggotaan gym, yang diperkirakan akan meningkat rata-rata 5-10%.
- Pelaku Usaha: Pengelola lapangan futsal dan gym menyatakan kekhawatiran bahwa pajak ini dapat menurunkan jumlah pelanggan, terutama di tengah persaingan ketat antar-penyedia jasa. Beberapa pengelola, seperti Asosiasi Futsal Jakarta, telah meminta Pemprov DKI untuk mempertimbangkan pengecualian bagi olahraga rakyat seperti futsal, yang dianggap lebih sebagai kebutuhan kesehatan daripada hiburan.
- Dukungan untuk Kebijakan: Sebagian pihak mendukung pajak ini, dengan alasan bahwa olahraga seperti padel atau gym sering kali menyasar kalangan menengah atas, sehingga pajak ini tidak akan terlalu memengaruhi masyarakat luas. Selain itu, pendapatan dari pajak diharapkan dapat digunakan untuk memperbaiki fasilitas olahraga publik, seperti lapangan umum atau gelanggang olahraga remaja, yang sering kali kurang terawat.
- Diskusi di Media Sosial: Di platform X, topik pajak hiburan ini menjadi trending, dengan tagar seperti #PajakOlahragaDKI dan #Jakarta2025. Banyak pengguna menyuarakan kekecewaan, menyebut olahraga seharusnya dipromosikan, bukan dikenakan pajak. Seorang pengguna menulis, “Futsal dan gym itu kebutuhan kesehatan, bukan hiburan. Pajak ini bikin orang males olahraga!” Namun, ada pula yang berpendapat bahwa pajak ini wajar selama hasilnya digunakan untuk meningkatkan infrastruktur kota.
Implikasi untuk Dunia Olahraga Jakarta
Kebijakan ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana olahraga didefinisikan sebagai “hiburan” oleh Pemprov DKI. Olahraga seperti futsal, bulu tangkis, dan gym memiliki manfaat kesehatan yang signifikan, dan pengenaan pajak dapat menghambat upaya pemerintah untuk mendorong gaya hidup sehat. Di sisi lain, olahraga seperti padel, yang sering dimainkan di klub eksklusif, memang lebih condong sebagai aktivitas rekreasi kelas menengah atas.
Pemprov DKI telah berjanji untuk melakukan evaluasi berkala terhadap dampak pajak ini, dengan kemungkinan penyesuaian tarif atau pengecualian untuk olahraga tertentu di masa depan. Selain itu, Asosiasi Olahraga Jakarta berencana mengadakan dialog dengan Pemprov untuk mencari solusi yang menguntungkan semua pihak, seperti subsidi untuk komunitas olahraga amatir atau insentif bagi pengelola fasilitas olahraga.
Harapan ke Depan dari Pajak Hiburan Jakarta 2025
Pajak hiburan 10% ini menjadi ujian bagi keseimbangan antara kebutuhan pendapatan daerah dan promosi gaya hidup sehat di Jakarta. Dengan fasilitas olahraga seperti Aim High Stadium di Tangerang dan rencana pengembangan gelanggang olahraga di Ibu Kota Nusantara (IKN), Jakarta memiliki peluang untuk menjadi pusat olahraga yang kompetitif. Namun, keberhasilan kebijakan ini akan tergantung pada bagaimana Pemprov DKI mengelola dampaknya terhadap masyarakat dan pelaku usaha.
Diskusi tentang pajak ini juga mencerminkan semangat masyarakat Jakarta untuk memperjuangkan aksesibilitas olahraga. Dengan komunikasi yang transparan dan solusi yang inklusif, Pemprov DKI dapat memastikan bahwa pajak hiburan tidak menghambat pertumbuhan olahraga di ibu kota, melainkan menjadi katalis untuk pembangunan fasilitas yang lebih baik.