Dramatika Perubahan Pucuk Pimpinan PPP
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali menjadi sorotan nasional setelah terjadi perubahan signifikan di pucuk pimpinannya. Konflik internal yang telah lama bersemi akhirnya meletus dengan terbitnya surat keputusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang mengesahkan susunan kepengurusan baru. Dalam surat tersebut, Plt. Ketua Umum PPP, Muhamad Mardiono, secara resmi diakui sebagai pemimpin partai, menggantikan posisi sebelumnya yang dipegang oleh Suharso Monoarfa.
Pengesahan ini sejatinya menjadi titik kulminasi dari Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PPP yang diselenggarakan di Banten beberapa waktu lalu. Keputusan Mukernas tersebut, yang salah satunya adalah memberhentikan Suharso Monoarfa dari jabatan Ketua Umum, kini telah memiliki kekuatan legal formal melalui restu Kemenkumham. Bagi kubu Mardiono, pengesahan ini adalah bukti sah dan otentik bahwa mereka adalah representasi kepengurusan partai yang diakui oleh negara.
Reaksi Kubu Penolak: Gugatan Menjadi Pilihan
Kendati telah mengantongi SK Kemenkumham, polemik internal PPP tak serta merta mereda. Kelompok yang menolak hasil Mukernas Banten dan pengesahan kepengurusan Mardiono menyatakan sikap tegas: melawan melalui jalur hukum. Mereka berpendapat bahwa proses pergantian Ketua Umum, khususnya pemberhentian Suharso Monoarfa, adalah tindakan yang inkonstitusional dan melanggar Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.

Rencana pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau peradilan umum lainnya menjadi opsi yang paling santer terdengar. Langkah ini menunjukkan bahwa kubu penolak tidak akan menyerah pada keputusan Kemenkumham. Mereka akan menguji legalitas keputusan tersebut di hadapan hakim, berharap pengadilan dapat membatalkan atau menunda implementasi SK Kemenkumham.
Argumentasi utama kubu penolak biasanya berpusat pada prosedur internal partai yang dianggap tidak dijalankan dengan benar, serta klaim bahwa Mukernas Banten tidak sah untuk mengambil keputusan sepenting pemberhentian Ketua Umum definitif.
Implikasi Politik Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Polemik berkepanjangan ini tentu memiliki dampak serius bagi keberlangsungan politik PPP, terutama menjelang tahun-tahun krusial pemilu.
1. Konsolidasi Internal dan Pemilu 2024
Kepengurusan yang sah secara hukum (kubu Mardiono) kini memiliki mandat untuk melakukan konsolidasi partai dan mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2024. Namun, energi partai akan terpecah karena harus meladeni gugatan di pengadilan. Jika konflik tidak segera tuntas, fokus partai pada pemenangan pemilu dapat terganggu, berpotensi menurunkan perolehan suara yang sudah tipis.
2. Citra dan Kepercayaan Publik
Konflik internal yang terus berulang juga dapat merusak citra PPP di mata publik dan calon pemilih. Partai yang terlihat tidak solid dan terus menerus bersengketa rentan kehilangan kepercayaan, yang mana dapat berujung pada hilangnya dukungan elektoral.
3. Masa Depan Koalisi
Sebagai salah satu partai politik tertua di Indonesia, posisi PPP dalam peta koalisi politik nasional juga dapat terpengaruh. Kepastian kepemimpinan menjadi penting bagi partai koalisi lain dalam menjalin kerja sama strategis, terutama dalam penentuan calon presiden dan wakil presiden. Ketidakpastian internal PPP akan membuat partai lain berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Penutup: Menanti Putusan Hukum
Pengesahan kepengurusan oleh Kemenkumham adalah babak baru, tetapi rencana gugatan oleh kubu penolak menandai dimulainya babak persidangan. Kini, masa depan PPP akan sangat bergantung pada putusan lembaga peradilan. Siapa pun yang akhirnya diakui oleh pengadilan, tantangan terbesar partai berlambang Ka’bah ini adalah menyatukan kembali semua faksi, agar PPP dapat fokus pada misi utamanya sebagai peserta dan kontributor dalam kancah demokrasi Indonesia.





