
Chip 6G China: Revolusi Kecepatan Internet untuk Daerah Terpencil
Peneliti China dari Peking University dan City University of Hong Kong mencatatkan sejarah dengan meluncurkan chip 6G “all-frequency” pertama di dunia pada 29 Agustus 2025. Chip ini mampu memberikan kecepatan internet lebih dari 100 gigabit per detik (Gbps) di seluruh spektrum nirkabel, termasuk frekuensi yang digunakan di daerah terpencil. Menurut laporan South China Morning Post, teknologi ini dapat meningkatkan kecepatan internet hingga 5.000 kali lipat dibandingkan koneksi di daerah pedesaan AS, yang rata-rata hanya 20 Mbps.
Terobosan Teknologi: Chip 6G “All-Frequency”
Chip berukuran 11 mm x 1,7 mm ini mengintegrasikan spektrum nirkabel dari 0,5 GHz hingga 115 GHz, menggantikan kebutuhan akan sembilan sistem radio terpisah seperti pada teknologi 5G. Dengan teknologi photonic-electronic fusion, chip ini mengubah sinyal nirkabel menjadi sinyal optik, memungkinkan pemrosesan data lebih cepat. Uji coba menunjukkan chip ini mampu menyesuaikan frekuensi 6 GHz dalam 180 mikrodetik—lebih cepat dari kedipan mata—sambil mempertahankan kecepatan transfer data di atas 100 Gbps.
“Ini adalah terobosan yang mengatasi fragmentasi frekuensi. Chip ini memungkinkan peralihan mulus antara frekuensi rendah untuk jangkauan luas dan frekuensi tinggi untuk aplikasi berkecepatan tinggi seperti VR dan operasi holografik,” ujar Profesor Wang Xingjun dari Peking University.
Manfaat untuk Daerah Terpencil
Dengan kemampuan mentransfer film 8K 50GB dalam hitungan detik, chip ini berpotensi menutup kesenjangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Daerah terpencil, seperti pegunungan atau wilayah bawah laut, kini dapat mengakses layanan canggih seperti telemedicine dan pendidikan daring secara real-time. Teknologi ini juga mendukung aplikasi berat seperti pemantauan tanaman secara langsung bagi petani, memperluas peluang komersial dan pendidikan di wilayah terisolasi.

Menuju Jaringan AI-Native
Chip ini dilengkapi sistem “frequency-navigation” yang berfungsi seperti pengontrol lalu lintas pintar, secara otomatis beralih ke saluran frekuensi yang lebih jelas saat terjadi gangguan. Menurut Profesor Shu Haowen, chip ini meletakkan dasar untuk jaringan “AI-native” yang dapat menyesuaikan parameter komunikasi secara real-time berdasarkan kondisi lingkungan elektromagnetik.
Peneliti kini fokus mengembangkan modul komunikasi plug-and-play seukuran stik USB untuk diintegrasikan ke ponsel pintar, drone, dan perangkat IoT. Ini dapat mempercepat peluncuran jaringan 6G yang fleksibel dan cerdas, dengan proyek percontohan di China direncanakan mulai 2025 dan adopsi massal diperkirakan pada 2030.
Tantangan dan Kritik
Meski menjanjikan, teknologi ini menghadapi sejumlah tantangan. Produksi massal memerlukan manufaktur presisi tinggi karena ketergantungan pada teknologi fotonik canggih, yang dapat meningkatkan biaya dan kompleksitas. Efisiensi daya dan manajemen panas juga menjadi kendala untuk integrasi ke perangkat konsumen. Selain itu, kritik muncul terkait potensi risiko kesehatan dari radiasi elektromagnetik frekuensi tinggi, kerentanan siber, dan dampak privasi data, terutama karena kekhawatiran terhadap pengawasan.
Implikasi Global dan Persaingan Teknologi
Terobosan ini memperkuat posisi China dalam perlombaan teknologi 6G global, di mana negara-negara seperti AS, Jepang, dan Eropa juga berinvestasi besar. Berbeda dengan uji coba 6G Jepang yang mencapai 100 Gbps pada jarak pendek, chip China unggul dengan cakupan spektrum penuh, menghilangkan kebutuhan infrastruktur spesifik frekuensi. Namun, AS dan sekutunya mendorong standar 6G yang aman dan interoperabel untuk menangkal dominasi China, menyoroti ketegangan geopolitik dalam teknologi telekomunikasi.
Dengan potensi untuk merevolusi konektivitas global, chip 6G ini menjadi langkah besar menuju masa depan di mana geografi tak lagi membatasi akses internet. Namun, keberhasilannya akan bergantung pada kolaborasi internasional untuk alokasi spektrum dan standar keamanan.