Kericuhan Demonstrasi di DPR
Demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR pada 25 dan 28 Agustus 2025 berujung ricuh, dengan aksi pembakaran halte, pelemparan batu, dan bentrokan massa dengan polisi. Aksi ini menuntut pencabutan tunjangan DPR serta keadilan atas kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas tertabrak kendaraan Brimob pada 24 Agustus 2025. Polisi mengamankan lebih dari 1,000 demonstran, sebagian besar pelajar, yang terprovokasi melalui media sosial.
Peran Wanita dalam Provokasi via TikTok
Polda Metro Jaya menetapkan seorang wanita berinisial FL sebagai tersangka penghasutan karena diduga mengajak pelajar turun ke jalan melalui siaran langsung di akun TikTok @fighaaaaa. Siaran tersebut, yang ditonton hingga 12 juta kali, berisi ajakan untuk “lawan polisi” dan “turun ke DPR.” FL, berusia 28 tahun dan berprofesi sebagai influencer dengan 400 ribu pengikut, disebut memanfaatkan popularitasnya untuk memprovokasi aksi anarkis. Polisi menyita ponsel FL dan menganalisis konten digitalnya sebagai bukti.
Penetapan Tersangka dan Bukti Digital

Selain FL, polisi menetapkan Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, sebagai tersangka penghasutan terkait unggahan provokatif di Instagram @lokataru_foundation. Delpedro diduga berkolaborasi dengan akun seperti @blokpolitikpelajar, yang memposting ajakan seperti “Jangan takut, bakar semuanya!” dan tutorial membuat bom Molotov. Total enam tersangka dijerat dengan Pasal 160 KUHP (penghasutan), Pasal 45A ayat 3 jo Pasal 28 ayat 3 UU ITE, dan Pasal 76H jo Pasal 15 jo Pasal 87 UU Perlindungan Anak. Bukti digital dari laboratorium forensik polisi memperkuat tuduhan ini.
Kontroversi Penangkapan Delpedro Marhaen
Penangkapan Delpedro pada 1 September 2025 di kantor Lokataru Foundation tanpa surat perintah memicu kritik keras. Lokataru dan aktivis HAM, seperti Usman Hamid dari Amnesty International, menyebutnya sebagai kriminalisasi kebebasan berekspresi. Anggota Komisi III DPR, Benny K. Harman, mempertanyakan dasar hukum penahanan, menegaskan bahwa ajakan demonstrasi bukanlah penghasutan. Polisi membela tindakan mereka, menyatakan bahwa narasi Delpedro dan FL memicu keterlibatan pelajar dalam aksi rusuh, dengan 794 pelajar diamankan pada 28 Agustus.
Dampak Media Sosial dalam Kericuhan
Kasus ini menyoroti peran media sosial, khususnya TikTok, dalam mempercepat mobilisasi massa. Siaran langsung FL dianggap efektif menarik pelajar karena platform ini populer di kalangan remaja. Polisi mencatat adanya iming-iming “gift” virtual senilai Rp50.000 hingga Rp300.000 bagi penonton yang ikut aksi. Polda Metro Jaya kini memperketat patroli siber dan bekerja sama dengan TikTok untuk menangguhkan akun provokatif. Larangan siaran langsung selama demonstrasi juga diusulkan untuk mencegah eskalasi.
Tanggapan Masyarakat dan Aktivis
Lokataru Foundation menyerukan solidaritas untuk membebaskan Delpedro, menyebutnya korban represi polisi. Komnas HAM meminta penjelasan prosedur penangkapan, sementara publik ramai mendiskusikan batas kebebasan berekspresi di media sosial. Sebagian netizen mendukung polisi, menilai ajakan FL dan Delpedro membahayakan pelajar, sementara lainnya mengecam tindakan polisi sebagai upaya membungkam kritik sosial.
Kesimpulan: Menyeimbangkan Kebebasan dan Ketertiban
Kericuhan demo DPR dan penetapan FL serta Delpedro sebagai tersangka menunjukkan tantangan dalam mengelola kebebasan berekspresi di era digital. Media sosial seperti TikTok dapat mempercepat mobilisasi, tetapi juga rawan disalahgunakan untuk provokasi. Diperlukan regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang transparan untuk mencegah kriminalisasi sekaligus menjaga ketertiban umum. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia dalam menavigasi dinamika demokrasi.