Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi salah satu program unggulan pemerintah telah menimbulkan kontroversi yang kian memanas. Niat mulia untuk meningkatkan gizi dan memerangi stunting di kalangan pelajar justru terhantam oleh rentetan kasus keracunan makanan di berbagai daerah. Situasi ini memicu reaksi keras dari parlemen dan berbagai pihak, dengan tuntutan agar Badan Gizi Nasional (BGN) segera melakukan evaluasi menyeluruh secara transparan.
Rentetan Kasus Keracunan: Titik Balik Kepercayaan Publik
Beberapa waktu belakangan, laporan keracunan makanan pasca mengonsumsi menu MBG telah mencuat di media. Mulai dari puluhan hingga ratusan siswa di Rembang, Bogor, hingga Yogyakarta dikabarkan mengalami mual, muntah, dan harus dilarikan ke puskesmas.
Kasus-kasus ini bukan hanya insiden sporadis, melainkan sinyal adanya kegagalan sistemik dalam rantai penyiapan, pengolahan, hingga distribusi makanan. Para pakar pangan dan gizi menyoroti bahwa masalah ini sangat serius, karena menyangkut ribuan anak yang seharusnya mendapat asupan sehat, bukan risiko kesehatan. Kekhawatiran terbesar adalah bergesernya citra MBG dari “Makan Bergizi Gratis” menjadi “Makan Berisiko Gawat.”
Desakan Parlemen: Komisi IX Tagih Evaluasi BGN
Melihat maraknya insiden keracunan, Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan mendesak BGN untuk mengambil langkah tegas. Tuntutan utama adalah evaluasi total dan transparansi atas hasil investigasi yang telah dilakukan.
Anggota DPR menegaskan bahwa BGN harus terbuka mengenai data di lapangan, mencari tahu di titik mana persoalan terjadi—apakah di Sentra Pengolahan Pangan Gizi (SPPG) atau saat proses distribusi. Keterbukaan ini penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap program prioritas nasional tersebut. Komisi IX bahkan berencana memanggil BGN, Kementerian Kesehatan, dan BPOM untuk menagih solusi konkret.
Akar Masalah: Mulai dari Higienitas hingga Logistik

Pernyataan dari berbagai pihak, termasuk kepala daerah, menguak sejumlah kendala mendasar dalam pelaksanaan MBG:
1. Masalah Higienitas dan Keamanan Pangan
Gubernur DIY, misalnya, sempat menyoroti dugaan makanan menjadi basi karena jeda waktu yang terlalu lama antara proses masak dan penyajian. Banyak dapur pengolahan (SPPG) beroperasi jauh dari lokasi penyajian, dan tidak semua SPPG memiliki standar yang memadai untuk memasak dalam jumlah besar. Para ahli juga menduga adanya kontaminasi bakteri yang terjadi karena sanitasi yang kurang atau proses memasak yang tidak tepat.
2. Tantangan Logistik dan Distribusi
Beberapa laporan menunjukkan adanya keterlambatan distribusi makanan, yang membuat menu disajikan jauh melewati waktu makan yang seharusnya (misalnya, baru diantar menjelang siang padahal ditujukan untuk sarapan). Keterlambatan ini, seperti yang disoroti oleh KPAI, dapat mengakibatkan makanan menjadi tidak layak konsumsi dan harus dikembalikan.
3. Masalah Administrasi dan Mitra Dapur
Di beberapa daerah, muncul pula kendala non-teknis, seperti keterlambatan pembayaran kepada mitra dapur umum, yang pada akhirnya dapat memengaruhi motivasi dan kualitas bahan baku yang digunakan. Program yang cacat dari perencanaan tanpa partisipasi publik yang bermakna juga disebut-sebut sebagai salah satu akar masalah.
Langkah Perbaikan: Melanjutkan dengan Mitigasi Ketat
Meskipun digerus isu keracunan, mayoritas pihak sepakat bahwa program MBG tidak boleh dihentikan. Tujuannya—meningkatkan gizi dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor UMKM—dinilai terlalu penting. Fokusnya kini adalah perbaikan dan mitigasi yang ketat.
BGN telah mengakui kelalaian pengawasan dan berjanji untuk:
- Mengevaluasi dapur-dapur MBG secara langsung dan menghentikan operasional SPPG yang tidak memenuhi standar teknis.
- Memastikan pelatihan khusus bagi penyedia makanan terkait sanitasi dan kebersihan pangan.
- Memperbaiki sistem logistik agar makanan sampai tepat waktu, atau mempertimbangkan perubahan strategi menu agar potensi risiko food waste dan keracunan dapat diminimalisir.
Kasus keracunan ini harus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pihak, mulai dari BGN, pemerintah daerah, hingga pengelola dapur, bahwa program bergizi harus berjalan seiring dengan program yang aman dan terkontrol kualitasnya. Tanpa pengawasan yang serius, cita-cita menciptakan generasi emas melalui MBG akan sulit terwujud.





