
Situasi politik di Indonesia kembali memanas sepanjang akhir Agustus hingga awal September 2025. Gelombang demonstrasi yang melanda berbagai kota, termasuk Jakarta, Bandung, dan Jambi, menjadi cerminan ketegangan sosial dan ketidakpuasan masyarakat terhadap sejumlah kebijakan pemerintah. Presiden Prabowo Subianto, yang baru menjabat sejak Oktober 2024, menegaskan bahwa perekonomian Indonesia tetap stabil meski aksi unjuk rasa terus berlangsung. Namun, laporan kekerasan aparat dan penangkapan aktivis hak asasi manusia (HAM) memicu kekhawatiran, baik di dalam negeri maupun di mata komunitas internasional. Artikel ini akan mengulas dinamika politik terkini, respons pemerintah, serta isu-isu yang menjadi sorotan.
Latar Belakang Demonstrasi: Kemarahan Rakyat atas Kebijakan Kontroversial
Demonstrasi besar-besaran yang terjadi sejak akhir Agustus 2025 dipicu oleh kebijakan pemerintah dan DPR yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Salah satu pemicu utama adalah kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan, yang dinilai kontras dengan kondisi ekonomi masyarakat kecil. Kebijakan ini memicu kemarahan berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, buruh, dan komunitas pengemudi ojek online. Aksi protes yang awalnya damai berubah menjadi ricuh, ditandai dengan pembakaran fasilitas umum, penjarahan, dan bentrokan dengan aparat keamanan.
Menurut laporan, setidaknya enam hingga delapan orang meninggal dunia, puluhan lainnya luka-luka, dan sekitar 20 orang dilaporkan hilang pasca-demonstrasi. Kekerasan yang terjadi, termasuk insiden tragis seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang tewas tertabrak kendaraan taktis Brimob, semakin memperkeruh situasi.
Respons Presiden Prabowo: Stabilitas Ekonomi dan Tindakan Tegas
Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa perekonomian Indonesia tetap stabil di tengah gejolak sosial. Dalam pernyataannya di Hambalang, Bogor, pada 6 September 2025, ia menyatakan bahwa program-program pemerintah, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan peningkatan nilai tukar petani, menunjukkan hasil nyata. Data menunjukkan nilai tukar petani subsektor tanaman pangan (NTPP) pada Agustus 2025 mencapai 113,65, naik 2,4% secara bulanan dan 2,9% secara tahunan.

Namun, Prabowo juga mengambil sikap tegas terhadap aksi-aksi yang dianggap anarkis. Ia memerintahkan TNI dan Polri untuk bertindak keras terhadap pelaku perusakan fasilitas umum dan penjarahan, bahkan menyebut adanya indikasi makar dan terorisme dalam sejumlah aksi. Pernyataan ini memicu kritik dari aktivis HAM, yang menilai labelisasi tersebut berbahaya dan dapat mendorong pendekatan keamanan yang represif.
Prabowo menunjukkan empati dengan menjenguk korban demonstrasi, baik warga sipil maupun anggota kepolisian, di Rumah Sakit Bhayangkara, Jakarta, pada 1 September 2025. Ia juga menginstruksikan kenaikan pangkat luar biasa bagi polisi yang terluka dan menjanjikan bantuan medis serta dukungan untuk keluarga korban. Meski demikian, ia tetap menegaskan bahwa aparat yang bersalah, seperti dalam insiden kematian Affan, akan diproses hukum.
Kekerasan Aparat dan Penangkapan Aktivis HAM: Sorotan Publik Indonesia
Gelombang demonstrasi memunculkan laporan kekerasan aparat yang menjadi perhatian serius. Organisasi HAM, termasuk Amnesty International Indonesia, mencatat adanya penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan, seperti tembakan gas air mata dan peluru karet. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebutkan bahwa labeling demonstran sebagai “anarkis” atau “teroris” oleh Presiden Prabowo berpotensi melemahkan gerakan sipil dan memperburuk situasi.
Penangkapan sejumlah aktivis, seperti Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Delpedro Marhaen pada 1 September 2025, juga memicu tuduhan kriminalisasi. Tim Advokasi untuk Demokrasi menilai penangkapan tersebut dilakukan secara sewenang-wenang, meningkatkan kekhawatiran publik terhadap represi. Komunitas internasional, termasuk PBB dan Parlemen ASEAN, mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan investigasi transparan terkait pelanggaran HAM dalam penanganan demonstrasi.
Trauma 1998: Bayang-Bayang di Balik Sikap Prabowo
Sikap tegas Prabowo terhadap demonstrasi tidak lepas dari pengalaman pribadinya selama Reformasi 1998. Sebagai mantan Panglima Kostrad, Prabowo berada di tengah gejolak politik yang mengguncang Indonesia saat itu. Tuduhan keterlibatannya dalam penculikan aktivis prodemokrasi meninggalkan luka politik yang mendalam, yang tampaknya membentuk kewaspadaannya terhadap potensi gejolak sosial. Analis politik menilai bahwa trauma 1998 mungkin menjadi “alarm psikologis” yang membuat Prabowo sensitif terhadap demonstrasi, sekaligus berupaya menunjukkan empati untuk mempertahankan legitimasi politiknya.
Upaya Pemerintah Indonesia dan Tantangan ke Depan
Pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk meredam ketegangan. Presiden Prabowo mengumumkan pemangkasan tunjangan DPR yang menjadi pemicu demonstrasi dan memerintahkan kementerian serta lembaga untuk membuka dialog dengan masyarakat. Menteri Sosial Saifullah Yusuf juga menyatakan bahwa pemerintah menyiapkan bantuan untuk korban, mulai dari biaya pengobatan hingga renovasi rumah.
Namun, tantangan ke depan tetap besar. Ketidakpuasan masyarakat terhadap ketimpangan ekonomi, korupsi, dan kebijakan yang dianggap tidak berpihak terus memicu aksi protes. Desakan untuk reformasi kepolisian, transparansi penegakan hukum, dan perlindungan kebebasan berekspresi menjadi agenda mendesak. Komnas HAM dan organisasi masyarakat sipil diharapkan dapat memainkan peran penting dalam memastikan keadilan bagi korban dan mencegah eskalasi kekerasan di masa depan.
Kesimpulan: Menyeimbangkan Stabilitas dan Demokrasi
Situasi politik Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto mencerminkan dilema antara menjaga stabilitas nasional dan menghormati kebebasan berekspresi. Meski perekonomian diklaim tetap stabil, demonstrasi yang dipicu ketidakpuasan masyarakat menunjukkan adanya ketegangan sosial yang belum terselesaikan. Kekerasan aparat dan penangkapan aktivis HAM menjadi noda dalam upaya pemerintah menegakkan hukum. Ke depan, dialog yang inklusif dan penegakan hukum yang transparan akan menjadi kunci untuk meredam konflik dan membangun kepercayaan publik.